Sendiri yang Tahu Diri
September 24, 2018
"Kesendirian adalah teman, kau tak perlu merasa kesepian"
Perjuangan menuju master ternyata gampang-gampang susah. Kebanyakan susah karena harus kesana-sini dan pontang-panting kanan kiri. Sendiri. Yah, aku berjuang dengan kesendirian. Tak ada teman.
Ironisnya, di sosial media aku banyak memamerkan kemesraan dan keromantisan bersama kawan-kawan terdekatku. Namanya juga sosial media. Penuh kesemuan. Mereka hanyalah ilusi yang 90 persen kebohongan.
Bagiku, teman paling setia adalah kesendirian. Kemana-mana dia selalu menemani, bahkan ketika aku dalam kondisi tersulit. Sendiri lah yang selalu menemaniku. Beda halnya ketika ku bahagia. Sendiri tiba-tiba menarik diri. Dia seolah-olah menjauh dan membiarkanku bahagia bersama keramaian. Betapa tak egoisnya.
Kini saya benar-benar dalam masa tersulit, tesis sudah mendesak. Orangtua terus beri peringatan. Ketika semua orang memborbardirku dengan pertanyaan "kapan nikah?" Orangtuaku malah membusur tiap hari dengan pertanyaan yang itu-itu saja. "Bagaimana tesismu? Sudah sampai tahap apa? Kapan selesai?"
Aku diteror sama keluarga sendiri. Tiap hari harus terbebani dengan hal yang sama dan hidup dalam ketidaktenangan. Wajarlah, mungkin mereka kasihan dengan anak sulungnya yang tak kunjung selesai. Mungkin jg mereka prihatin karena anaknya sekarang sedang berada di masa-masa yang tidak sejahtera dengan pekerjaan. Semenjak Harian Amanah tutup, hidupku memang dirundung pilu. Aku harus berpindah ke media baru dan terpaksa memulai kembali, itupun gaji tak selancar di Harian Amanah. Menyedihkan.
Dulu, saat masih jaya-jayanya. Tiap bulan aku kembali ke rumah (Pangkep) dan membawa banyak makanan untuk adik-adikku. Sekarang, boro-boro pulang kampung, kalau kangen orangtua malah kebawa sakit dan yang ada mereka nengokin. Aku mana bisa pulang ke kampung, malu rasanya jika tak membawa apa-apa.
Harus kuakui, niat ayahku baik, ingin aku segera memiliki ijasah dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Seperti yang ia cita-citakan. Ingin anaknya menjadi seorang dosen. Yah, jadi dosen adalah cita-cita ayahku bukan cita-citaku. Impianku terlalu konyol dan millenial, mau jadi jurnalis yang sukses. Trus kerja sambilannya jadi yutubers (ngimpi saja sih ini) soalnya orangtua mana mau nerima yang gituan. Yah, memang sih jadi jurnalis tidak akan membuatmu menjadi orang yang sukses. Gaji pas-pasan, pengalaman yang berlebihan. Padahal, sebagai putri sulung, ayah maunya aku jadi orang yang bisa dibanggakan dalam keluarga. Setidaknya aku jadi ajang pameran di saudara-saudaranya.
Mungkin keinginan dan hoby cukup dijalanin saja dulu, sambil mengejar cita-cita orangtua yang kulakoni begitu lambat. Sebagai anak, sepertinya aku mulai tak berbakti. Tesis nunggak dan entah kapan selesainya. Teman-teman sudah pada ujian, lah akunya jadi penonton. Yah sambil membayangkan saja, memang sih aku nonton kalian ujian, tapi kalian akan nonton aku saat diwawancarai di TV. Hahaha hayalan macam apa sihh. Tingginya kebangetan eui.
Sudah ahh, entar makin curhat makin ke sininya ngayalnya juga makin tinggi. Padahal dalam hati diaminin saja ya kan hehehe.
Foto: Ilustrasi, Indri Muchtar
1 comments
Ada yang baru dan gampang digunakan dimana saja dan kapan saja, gratis tanpa bulanan atau tahunan, dan lebih mudah menyaksikan film dan drama korea,tinggal Download aplikasi MYDRAKOR secara gratis nonton drama korea 24jam gratis.
ReplyDeletehttps://play.google.com/store/apps/details?id=id.mydrakor.main
https://www.inflixer.com/