Hadiah Romantis buat si Tukang Bengkel dan Istrinya
July 13, 2017"Rezeky itu bisa dicari, tapi kebahagiaan sulit diciptakan"
Lahir sebagai anak tukang montir sudah menjadi garis tanganku. Hidup di kampung
dengan berkecukupan, punya saudara banyak, rumah sempit, bahkan ruang yang
dipakai makan, itu pula digunakan untuk tidur di malam hari.
Bermodal dinding dan atap dari seng yang
akan terasa panas di siang hari, lalu terlalu dingin di malam harinya sudah
biasa bagi kami. Tak terkecuali air yang sering tembus dari atas seng ketika
musim penghujan. Rutinitas yang kadang membuatku tertawa sambil menangis.
Miris.
Bukan salah orangtua melahirkan kami
dari keluarga yang tak berkecukupan. Meski berada ditengah-tengah keluarga
dengan ekonomi menengah ke bawah. Aku tetap bisa bertahan hidup hanya dengan
makan hasil kerja dari baut-membaut dan jualan oli.
Sore itu, aku dan keluarga sedang
berkumpul di ruang yang biasa kami gunakan makan, tidur, masak, bahkan menonton
televisi (tv). Keributanpun dimulai ketika kedua adikku yang menonton tv,
sedang marah karena siaran yang ingin disaksikan gambarnya buram. Kesemutan.
“Yah, kapan kita punya tv baru? Saya
tidak bisa ikut bercerita dengan teman-teman di kelas kalau lagi bahas siaran
tv,” keluh adikku yang sudah mulai merajuk.
Ayah hanya tersenyum, sambil fokus
memperbaiki gagang kacamatanya yang patah. Sementara ibu serius memotong sayur yang
akan dimasak untuk makan malam.
“Yah, buat apa gagang kacamata itu
dilem. Nanti aku belikan yang baru di Makassar,” cetusku.
Namun ayah tetap saja meneruskan
pekerjaannya. Sementara adik-adikku tetap melanjutkan pertengkaran.
“Nanti ayah perbaiki tv-nya. Dan
kacamatanya masih bisa diperbaiki, simpan saja uang kamu untuk membeli makanan
di Makassar.” tutur ayah, membuat kami semua terdiam.
Aku anak sulung dari lima bersaudara.
Bayangkan beban ayahku yang harus menafkahi lima anak dengan bekerja hanya
sebagai tukang bengkel. Ironisnya, dari hasil kerjanya ia bahkan mampu
menyekolahkan kami hingga ke universitas.
Dari keluarga tak mampu, aku tumbuh
menjadi anak perempuan tangguh. Betapa lama aku memendam rasa sakit sebagai
orang miskin. Ke sekolah dan pulang sekolah berjalan kaki, diberi uang
jajan seadanya, itupun sering kena palak dari teman kelas. Kadang aku mengeluh
dengan hidup yang kulalui, mengapa aku tak dilahirkan dari rahim ibu-ibu
sosialita atau kalau perlu yang punya perusahaan besar.
Namun, kerasnya hidup menyadarkanku.
Jika kebahagiaan tidak diraih dengan kekayaan tetapi bagaimana kita bisa merasa
teduh. Aku belajar ikhlas dari kekurangan. Aku meyakini, lahir dari kedua
orangtua yang tak berkecukupan ini memiliki makna tersendiri.
Kami selalu menjalani hidup biasa
saja. Kami bersyukur karena masih punya tempat tinggal dan bisa menikmati makan
dengan melingkar bersama keluarga, meski tanpa meja. Lesehan.
Makan malam yang sederhana, ibu selalu
menyajikan menu nikmat ketika aku pulang ke kampung. Bahkan adik-adikku sering
protes. Katanya, aku ini anak kesayangan ibu sebab suka sakit-sakitan.
“Kak, ini punyaku. Jangan diambil,”
teriak adik bungsuku sambil mengambil udang yang kurebut darinya.
“Hahahaha sepotong saja, pelit amat!”
candaku.
Begitulah suasana tiap kali kami
makan, penuh dengan pertengkaran romantis. Situasi seperti ini kunikmati sekali
sebulan ketika pulang kampung. Maklum, aku anak rantau yang hanya balik sehabis
gajian.
Adzan subuh berkumandang, usai shalat
aku bersiap-siap untuk kembali ke kota Daeng. Ibuku juga bangun lebih awal
untuk membantuku mempersiapkan barang-barang. Terutama segala jenis bungkusan
yang harus kubawa ke kota. Seperti beras hingga lauk pauk.
“Bu, ini sedikit uang dari gajiku.
Disimpan yah,” ujarku.
“Tidak perlu nak, tabung saja untuk
dirimu,” ibu menolak.
“Tidak apa-apa bu, ini hanya sebagian.
Aku punya simpanan yang lain kok. Pakai saja ini untuk membeli keperluan ibu
dan ayah,” tuturku.
Akupun mencium tangan ibu dan ayah,
berpamitan.
Udara dingin yang masih sejuk, kuhirup
penuh haru. Entah setiap kali aku melakukan hal seperti ini. Air mataku selalu
menetes saat dalam perjalanan menuju kota Makassar. Sepanjang perjalanan, aku
selalu berpikir. Kapan aku bisa memberikan hadiah istimewa untuk mereka berdua.
Orang yang sangat kucintai.
Semakin aku beranjak dewasa. Pola
pikirku perlahan mulai berubah dan semakin berpikir realistis. Aku menjadi
tulang punggung keempat adikku. Sambil kuliah S2, aku juga bekerja di salah
satu perusahaan. Alhamdulillah, dari gaji yang kudapat mencukupi uang makan dan
hidupku di Makassar, bahkan bisa kutabung untuk membayar biaya kuliah dan
sesekali kuberikan kepada ibu.
Melihat kerutan wajah kedua
orangtuaku, menjadi beban moral yang mulai kupikul. Walaupun mereka tak
mengharap balasan. Tetapi sebagai orang yang beranjak dari anak ingusan dan
menjadi anak yang sedikit berguna, sekiranya aku punya rasa malu tersendiri.
Usia orangtuaku semakin bertambah,
tenaga ayah untuk bekerja bahkan semakin berkurang, ia tak mampu lagi
mengangkat benda-benda yang berat.
Sebagai anak yang hidup diperantauan,
aku hanya sesekali mengunjungi mereka di kampung. Tapi terkadang, memilukan
menyaksikan mereka dengan kehidupan yang begitu-begitu saja. Hingga aku
berpikir ingin mendaftarkan mereka umroh murah di travel Abu Tours. Insya
Allah.
Meski masih sementara niat, tapi
keinginanku membeli kursi pesawat untuk ayah dan ibu ke Makkah. Insya Allah
bisa kulakukan. Selama aku berusaha.
Aku mulai mengumpulkan biaya umroh untuk
orangtuaku. Dari informasi yang kudapatkan, Abu Tours salah satu travel yang
memberikan paket umroh murah. Meskipun sekarang dana yang kupunya belum cukup,
tapi aku mulai menyisihkan sebagian gaji agar segera mencukupi.
“Ayah dan ibu, bersabarlah. Jika
memang sudah rezeky, kalian akan segera ke Tanah Haram. Aku juga selalu berdoa
agar pekerjaanku berjalan lancar. Rezeky ku berberkah dan bisa segera
mengumpulkan uang yang mencukupi untuk membawa kalian terbang ke Makkah.
Aamiin,” harapku.
Saya sedang mengikuti Blog Contest
Ramadhan Bersama Abutours & Travel. Bersama Abu Tours, lebih dari
sekadar nikmatnya ibadah. Jangan lupa kunjungi www.abutours.com untuk mendapatkan informasi haji dan umroh murah. Terimakasih.
#LebihDariSekedarNikmatnyaIbadah
#SemuaBisaUmroh
0 comments